Halaman

    Social Items

Genap 1 tahun yang lalu, tepatnya di hari-hari pembuka bulan Juni 2015, saya mencoba magang di sebuah media online yang saat itu sudah lumayan berkembang, Islampos.com. Hal itu dilatarbelakangi dengan ketidakbetahan saya kuliah selama 4 semester di jurusan Jurnalistik. Sebelum libur semester genap (waktu itu semester 4), saya berjanji kepada Kang Ramdan, teman diskusi sekaligus kakak tingkat saya, “Kang, kalau saya batal lagi magang di Islampos, tahun depan saya bakal pindah jurusan ke jurusan humas!” (sambil jabat tangan)

“Deal?”

“Deal!”

Janji itu terucap secara tegas karena kegundahan hati saya yang sudah berada pada tahap klimaks. Saya benar-benar tidak tahu ke mana arah dan tujuan kuliah saya. Dan saya pikir, jika pindah ke jurusan humas sepertinya masih logis, mengingat di daerah tempat tinggal saya yang banyak pabrik.

Islampos sendiri dikenalkan oleh guru sekaligus wali kelas SMA saya ketika di jurusan bahasa SMA Al-Muhajirin Purwakarta. Sebetulnya ia menawari itu sejak saya semester 2, tetapi waktu itu saya masih belum punya nyali untuk magang. Apalagi teori-teori kejurnalistikan yang saya pelajari pun masih terbilang minim.

Ketika mau magang saat semester 4 pun sebetulnya masih ada kendala. Hubungan saya dengan guru tersebut sedang kurang harmonis. Tapi karena teringat kenangan manis dan kekompakan kami saat di SMA, akhirnya saya mencoba memperbaiki tali silaturrahmi itu. Beliau pun merespon dengan positif dan bersedia mengantar saya ke kantor Islampos di Purwakarta.

Hari Pertama di Kantor Islampos


Hari pertama di kantor Islampos menjadi pertemuan pertama saya dengan guru tersebut setelah 3 bulan tidak bertemu. Kami sedikit canggung saat bersalaman di ruang tamu kantor Islampos, tetapi kehadiran 2 putranya membuat keadaan sedikit mencair. Namun konflik yang sempat terjadi antara kami 3 bulan yang lalu sempat terbahas, meski dalam konteks yang berbeda dan menjurus ke arah perdamaian.

Islampos, Cinta Pertama yang Menumbuhkan (1)


Lima menit setelah membincangkan masalah tersebut, ia masuk ke ruang redaksi dan kembali dengan dibuntuti seorang lelaki bermata sipit, berambut cepak dan mengenakan kemeja kotak-kotak lengan pendek.

Ia adalah Pak Saad. Saad Saefullah. Pimpinan Redaksi Islampos.com.

Sempat basa-basi tentang tempat kuliah, jurusan dan semester, tak lama kemudian Pak Saad mengajak saya ke sebuah ruangan, tempat rapat redaksi. Saya dibeberkan tentang ketentuan-ketentuan selama magang di sana. Setelah saya menyepakatinya, kemudian saya di minta membaca Al-qur’an. Sejak pembacaan Qur’an itu saya baru menyadari bahwa saya sedang menjalani interview. Dalam hati saya ketawa-ketawa. Akhirnya mengalami juga yang namanya interview pekerjaan, walau saat itu dalam konteks magang.

Setelah semuanya cocok, Pak Saad memberi saya waktu 1 minggu untuk beristikhorokh memantapkan keputusan untuk magang di Islampos.

Magang Di Islampos


Setelah satu minggu menimbang-nimbang, dan membulatkan tekad, akhirnya saya diizinkan juga untuk memulai magang di Islampos. Saya diminta datang ke kantor pukul 9 pagi dan menemui Kang Ikin (Kang Sodikin), karena pada hari itu Pak Saad sedang ada urusan di luar kota.

Kang Ikin menyampaikan pesan dari Pak Saad bahwa saya ditempatkan di rubrik dunia. Seharian itu saya dibimbing Kang Ikin bagaimana teknis membuat berita di rubrik dunia berikut gaya selingkung media Islampos. Pada awal-awal magang saya diwajibkan membuat minimal 5 buah berita per hari, tetapi setelah beberapa hari berjalan bertambah menjadi 7 berita, lalu turun lagi menjadi 5 ketika mendekati hari raya idul fitri.

Terus terang meskipun saya kuliah di jurusan jurnalistik, kewajiban menulis 7 berita per hari terbilang cukup menyulitkan. 1). Karena beritanya berita dunia dan harus menerjemahkan dulu dengan benar 2). Karena sulit menguasai topik berita. 

Jujur saya malu dengan rekan-rekan di sana yang bukan dari jurusan jurnalistik tetapi sangat lihai menulis berita. 10 berita bisa mereka selesaikan dalam waktu 2-3 jam. Saya sendiri satu jam baru menyelesaikan 1 berita. Saya bisa menyimpulkan saat itu saya menulis berita terlalu penuh dengan pertimbangan, maklum sehari-hari saya dicekoki teori ini itu, belum lagi kode etik. Jadi ada sedikit rasa takut kalau salah memberitakan dan nama Islampos sendiri yang nantinya tercoreng. (Haha.. alasan aja kayaknya itu mah)

Memutuskan mundur


Satu pekan pasca lebaran Islampos mengadakan rapat bulanan sekaligus evaluasi kinerja para redaktur, iklan, dan bagian IT. Pokoknya semuanya dievaluasi. Dilanjutkan membicarakan visi-misi untuk beberapa bulan ke depan.

Islampos, Cinta Pertama yang Menumbuhkan (1)
Tim Redaksi Islampos 
Sayangnya, selang beberapa hari setelah pertemuan tersebut saya memutuskan mundur dari Islampos. Pikir saya waktu itu, saya tidak pantas berada di sana. Kemampuan saya masih jauh dari pada seharusnya. Meskipun orang-orang di sana berusaha meyakinkan saya bahwa perasaan tersebut muncul karena saya belum terbiasa, tetapi saya tetap memutuskan mundur.

Orang tua saya juga tidak tega melihat saya harus bangun setiap jam 1 dini hari untuk mulai mencari berita dari portal luar negeri. Sebetulnya hal itu tidak ada dalam kesepakatan bersama Islampos. Itu tak lain karena saya ingin bisa menuntaskan menulis 7 berita per hari. Karena saya tidak terlalu pandai, maka dengan bangun pukul 1 dini hari itulah saya menegaskan diri untuk komitmen dengan tugas dan kewajiban saya menjadi anak magang.

Islampos, Cinta Pertama yang Menumbuhkan (Bagian 1)

Genap 1 tahun yang lalu, tepatnya di hari-hari pembuka bulan Juni 2015, saya mencoba magang di sebuah media online yang saat itu sudah lumayan berkembang, Islampos.com. Hal itu dilatarbelakangi dengan ketidakbetahan saya kuliah selama 4 semester di jurusan Jurnalistik. Sebelum libur semester genap (waktu itu semester 4), saya berjanji kepada Kang Ramdan, teman diskusi sekaligus kakak tingkat saya, “Kang, kalau saya batal lagi magang di Islampos, tahun depan saya bakal pindah jurusan ke jurusan humas!” (sambil jabat tangan)

“Deal?”

“Deal!”

Janji itu terucap secara tegas karena kegundahan hati saya yang sudah berada pada tahap klimaks. Saya benar-benar tidak tahu ke mana arah dan tujuan kuliah saya. Dan saya pikir, jika pindah ke jurusan humas sepertinya masih logis, mengingat di daerah tempat tinggal saya yang banyak pabrik.

Islampos sendiri dikenalkan oleh guru sekaligus wali kelas SMA saya ketika di jurusan bahasa SMA Al-Muhajirin Purwakarta. Sebetulnya ia menawari itu sejak saya semester 2, tetapi waktu itu saya masih belum punya nyali untuk magang. Apalagi teori-teori kejurnalistikan yang saya pelajari pun masih terbilang minim.

Ketika mau magang saat semester 4 pun sebetulnya masih ada kendala. Hubungan saya dengan guru tersebut sedang kurang harmonis. Tapi karena teringat kenangan manis dan kekompakan kami saat di SMA, akhirnya saya mencoba memperbaiki tali silaturrahmi itu. Beliau pun merespon dengan positif dan bersedia mengantar saya ke kantor Islampos di Purwakarta.

Hari Pertama di Kantor Islampos


Hari pertama di kantor Islampos menjadi pertemuan pertama saya dengan guru tersebut setelah 3 bulan tidak bertemu. Kami sedikit canggung saat bersalaman di ruang tamu kantor Islampos, tetapi kehadiran 2 putranya membuat keadaan sedikit mencair. Namun konflik yang sempat terjadi antara kami 3 bulan yang lalu sempat terbahas, meski dalam konteks yang berbeda dan menjurus ke arah perdamaian.

Islampos, Cinta Pertama yang Menumbuhkan (1)


Lima menit setelah membincangkan masalah tersebut, ia masuk ke ruang redaksi dan kembali dengan dibuntuti seorang lelaki bermata sipit, berambut cepak dan mengenakan kemeja kotak-kotak lengan pendek.

Ia adalah Pak Saad. Saad Saefullah. Pimpinan Redaksi Islampos.com.

Sempat basa-basi tentang tempat kuliah, jurusan dan semester, tak lama kemudian Pak Saad mengajak saya ke sebuah ruangan, tempat rapat redaksi. Saya dibeberkan tentang ketentuan-ketentuan selama magang di sana. Setelah saya menyepakatinya, kemudian saya di minta membaca Al-qur’an. Sejak pembacaan Qur’an itu saya baru menyadari bahwa saya sedang menjalani interview. Dalam hati saya ketawa-ketawa. Akhirnya mengalami juga yang namanya interview pekerjaan, walau saat itu dalam konteks magang.

Setelah semuanya cocok, Pak Saad memberi saya waktu 1 minggu untuk beristikhorokh memantapkan keputusan untuk magang di Islampos.

Magang Di Islampos


Setelah satu minggu menimbang-nimbang, dan membulatkan tekad, akhirnya saya diizinkan juga untuk memulai magang di Islampos. Saya diminta datang ke kantor pukul 9 pagi dan menemui Kang Ikin (Kang Sodikin), karena pada hari itu Pak Saad sedang ada urusan di luar kota.

Kang Ikin menyampaikan pesan dari Pak Saad bahwa saya ditempatkan di rubrik dunia. Seharian itu saya dibimbing Kang Ikin bagaimana teknis membuat berita di rubrik dunia berikut gaya selingkung media Islampos. Pada awal-awal magang saya diwajibkan membuat minimal 5 buah berita per hari, tetapi setelah beberapa hari berjalan bertambah menjadi 7 berita, lalu turun lagi menjadi 5 ketika mendekati hari raya idul fitri.

Terus terang meskipun saya kuliah di jurusan jurnalistik, kewajiban menulis 7 berita per hari terbilang cukup menyulitkan. 1). Karena beritanya berita dunia dan harus menerjemahkan dulu dengan benar 2). Karena sulit menguasai topik berita. 

Jujur saya malu dengan rekan-rekan di sana yang bukan dari jurusan jurnalistik tetapi sangat lihai menulis berita. 10 berita bisa mereka selesaikan dalam waktu 2-3 jam. Saya sendiri satu jam baru menyelesaikan 1 berita. Saya bisa menyimpulkan saat itu saya menulis berita terlalu penuh dengan pertimbangan, maklum sehari-hari saya dicekoki teori ini itu, belum lagi kode etik. Jadi ada sedikit rasa takut kalau salah memberitakan dan nama Islampos sendiri yang nantinya tercoreng. (Haha.. alasan aja kayaknya itu mah)

Memutuskan mundur


Satu pekan pasca lebaran Islampos mengadakan rapat bulanan sekaligus evaluasi kinerja para redaktur, iklan, dan bagian IT. Pokoknya semuanya dievaluasi. Dilanjutkan membicarakan visi-misi untuk beberapa bulan ke depan.

Islampos, Cinta Pertama yang Menumbuhkan (1)
Tim Redaksi Islampos 
Sayangnya, selang beberapa hari setelah pertemuan tersebut saya memutuskan mundur dari Islampos. Pikir saya waktu itu, saya tidak pantas berada di sana. Kemampuan saya masih jauh dari pada seharusnya. Meskipun orang-orang di sana berusaha meyakinkan saya bahwa perasaan tersebut muncul karena saya belum terbiasa, tetapi saya tetap memutuskan mundur.

Orang tua saya juga tidak tega melihat saya harus bangun setiap jam 1 dini hari untuk mulai mencari berita dari portal luar negeri. Sebetulnya hal itu tidak ada dalam kesepakatan bersama Islampos. Itu tak lain karena saya ingin bisa menuntaskan menulis 7 berita per hari. Karena saya tidak terlalu pandai, maka dengan bangun pukul 1 dini hari itulah saya menegaskan diri untuk komitmen dengan tugas dan kewajiban saya menjadi anak magang.

No comments